Quiet Quitting Gen Z makin marak dan mengancam produktivitas perusahaan. Apa penyebabnya dan bagaimana cara perusahaan menyikapinya? Cari tahu jawabannya di sini.
Apa Itu Fenomena Quiet Quitting Gen Z?
Quiet Quitting Gen Z adalah istilah yang menggambarkan kondisi karyawan dari generasi Z yang memilih untuk tidak terlibat secara emosional dalam pekerjaan.
Karyawan Gen Z hadir di kantor atau terhubung secara daring, tetapi keterlibatannya terbatas hanya pada tugas-tugas minimum yang dibebankan oleh perusahaan.
Menurut laporan Gallup kuartal pertama 2024, hanya 30% dari karyawan tetap dan paruh waktu yang benar-benar antusias dan merasa terlibat dalam lingkungan kerjanya.
Sedangkan dalam laporan Gallup 2023, sebanyak 59% pekerja tergolong quiet quitters, Karyawan Gen Z hadir secara fisik namun tidak terlibat secara psikologis.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan Randstad Workmonitor 2025, sebanyak 1 dari 3 pekerja Indonesia mengaku pernah berhenti dari pekerjaan karena nilai-nilai pribadi Karyawan Gen Z tidak sejalan dengan budaya perusahaan.
Hal ini mencerminkan pergeseran prioritas generasi muda, terutama Gen Z, dalam memandang dunia kerja.
Baca Juga: 7 Cara Meningkatkan Motivasi Karyawan, HR Wajib Tahu!
5 Penyebab Quiet Quitting pada Gen Z Terjadi
Quiet Quitting Gen Z tidak muncul begitu saja. Terdapat sejumlah faktor yang memicu terjadinya fenomena ini. Perusahaan perlu memahami penyebab-penyebab ini agar dapat merespons secara efektif. Simak penyebabnya berikut ini:
1. Ketidaksesuaian Nilai dan Budaya Kerja
Gen Z tumbuh dengan nilai-nilai personal yang kuat. Ketika nilai tersebut tidak sejalan dengan budaya perusahaan, karyawan dari generasi ini cenderung menarik diri secara psikologis.
Karyawan Gen Z mungkin tidak segera keluar, tetapi memilih untuk tidak memberikan lebih dari yang diminta.
2. Kebutuhan Akan Work-Life Balance
Bagi Gen Z, keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi prioritas utama. Ketika pekerjaan mulai mengambil alih kehidupan pribadi, karyawan Gen Z cenderung melakukan quiet quitting sebagai bentuk protes pasif.
3. Minimnya Pengakuan dan Apresiasi
Kurangnya penghargaan atas usaha dan pencapaian membuat banyak karyawan Gen Z merasa tidak dihargai. Jika perusahaan hanya fokus pada hasil tanpa mengapresiasi proses, hal ini dapat memicu penurunan motivasi.
4. Model Kepemimpinan yang Tidak Adaptif
Pemimpin yang masih menggunakan gaya manajerial tradisional, otoriter, dan tidak terbuka terhadap feedback sering kali gagal membangun hubungan positif dengan Gen Z. Hal ini menyebabkan karyawan enggan terlibat lebih jauh.
Baca Juga: 3 Cara Evaluasi Kinerja Karyawan Secara Efektif dan Objektif
5. Ketidakjelasan Karier dan Kurangnya Tantangan
Gen Z menginginkan jalur karier yang jelas serta tantangan yang memacu perkembangan. Ketika perusahaan tidak mampu memberikan hal tersebut, quiet quitting menjadi bentuk pelarian dari kebosanan dan stagnasi.
5 Dampak Quiet Quitting pada Perusahaan
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga memberikan dampak serius terhadap operasional dan reputasi perusahaan. Berikut ini dampak dari quiet quitting:
1. Penurunan Produktivitas Tim
Karyawan yang tidak terlibat secara penuh tentu memberikan hasil kerja yang terbatas. Hal ini akan menurunkan kinerja tim secara keseluruhan, terutama jika quiet quitting terjadi secara kolektif.
Tanpa kontribusi maksimal dari setiap individu, target perusahaan sulit tercapai, dan beban kerja dapat tidak merata.
2. Menurunnya Inovasi dan Kreativitas
Quiet quitters cenderung tidak ambil bagian dalam proses kreatif dan inovatif karena tidak ingin melibatkan diri secara emosional.
Karyawan Gen Z hanya menyelesaikan tugas rutin dan menghindari tantangan. Hal ini menyebabkan perusahaan kehilangan potensi ide-ide segar yang biasanya datang dari karyawan yang aktif dan terlibat.
3. Meningkatnya Turnover Karyawan
Meskipun pada awalnya karyawan Gen Z tidak mengundurkan diri, karyawan yang melakukan quiet quitting memiliki risiko tinggi untuk akhirnya resign. Ini berdampak pada peningkatan biaya rekrutmen dan pelatihan, serta hilangnya pengetahuan kerja yang telah dibangun selama ini.
4. Gangguan pada Budaya Kerja
Fenomena ini dapat menciptakan atmosfer kerja yang pasif dan kurang kolaboratif. Budaya kerja yang seharusnya produktif dan suportif dapat terganggu jika mayoritas karyawan memilih sikap disengaged.
Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan ketegangan antar tim dan mengurangi efektivitas komunikasi.
5. Reputasi Perusahaan Tercoreng
Karyawan yang tidak puas dapat membagikan pengalaman buruk melalui media sosial atau platform profesional. Hal ini menciptakan citra negatif yang dapat memengaruhi kepercayaan pencari kerja terhadap perusahaan.
Reputasi yang buruk akan menyulitkan perusahaan dalam menarik dan mempertahankan talenta terbaik di masa depan.
Baca Juga: 10 Strategi Komunikasi Efektif yang Harus Diterapkan di Kantor
5 Cara Mengatasi Quiet Quitting Gen Z
Perusahaan harus mengambil langkah strategis untuk mencegah dan mengatasi fenomena ini. Berikut lima pendekatan yang dapat diterapkan:
1. Bangun Komunikasi Dua Arah
Mendorong komunikasi terbuka antara atasan dan karyawan Gen Z sangat penting. Karyawan Gen Z ingin didengarkan dan diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat.
Dengan diskusi yang transparan, perusahaan dapat menangkap potensi masalah sebelum berkembang menjadi disengagement.
2. Tawarkan Fleksibilitas Kerja
Menyesuaikan sistem kerja dengan kebutuhan Gen Z, seperti model hybrid atau jadwal fleksibel, akan meningkatkan kepuasan kerja.
Perusahaan dapat mempertahankan produktivitas tanpa mengorbankan keseimbangan hidup karyawan. Ini juga menunjukkan bahwa perusahaan peduli terhadap kesejahteraan karyawan.
3. Kembangkan Program Penghargaan
Memberikan penghargaan atas pencapaian, sekecil apa pun, akan membuat Gen Z merasa dihargai.
Penghargaan tidak harus selalu finansial, dapat juga berupa pengakuan publik, kesempatan pelatihan, atau promosi. Program ini membangun rasa memiliki dan meningkatkan motivasi dalam jangka panjang.
4. Berikan Peluang Pengembangan Karier
Perusahaan harus menyediakan jalur karier yang jelas dan program pengembangan diri yang menarik. Dengan memberikan kesempatan belajar dan naik jenjang, karyawan Gen Z akan merasa memiliki masa depan di dalam perusahaan, dan tidak sekadar menjalani pekerjaan rutin.
5. Transformasi Gaya Kepemimpinan
Pemimpin harus bersikap lebih empatik, terbuka, dan kolaboratif. Karyawan Gen Z merespons lebih baik terhadap pemimpin yang memperlakukannya sebagai mitra, bukan bawahan.
Transformasi kepemimpinan ini akan membentuk budaya kerja yang lebih suportif dan memberdayakan.
Quiet Quitting Gen Z mencerminkan pergeseran paradigma dalam dunia kerja yang tidak dapat diabaikan.
Perusahaan yang mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi dan nilai generasi ini akan mampu mempertahankan karyawan yang produktif, loyal, dan terlibat.
Strategi komunikasi, fleksibilitas kerja, dan pengembangan karier menjadi kunci utama untuk menghadapi tantangan ini.
Jika perusahaan Anda ingin memiliki tenaga kerja yang profesional dan berkomitmen, bekerja sama dengan outsourcing vendor seperti SOS merupakan pilihan cerdas.
Kami menyediakan tenaga kerja berkualitas yang siap mendukung pertumbuhan dan produktivitas perusahaan Anda.
Tingkatkan Produktivitas dengan Tenaga Kerja Profesional dari SOS!
SOS hadir sebagai penyedia Jasa Tenaga Kerja tepercaya yang menyediakan tenaga kerja profesional, terlatih, dan sesuai standar industri.
Kami memahami pentingnya memiliki tim yang tidak hanya kompeten, tetapi juga selaras dengan nilai dan budaya perusahaan Anda.
Dengan layanan yang fleksibel dan dukungan manajemen yang andal, SOS membantu perusahaan Anda membangun tim yang produktif dan terlibat penuh.
Hubungi kami sekarang melalui WhatsApp untuk mendapatkan solusi terbaik dalam penyediaan tenaga kerja outsourcing yang tepat bagi perusahaan Anda!